Seorang wanita berusia lima puluh tahun, selama hidupnya ia tidak pernah meng-qadha puasa yang ditinggalkannya karena haidh, karena ia tidak tahu bahwa itu wajib. Sekarang ia baru tahu bahwa meng-qadha puasa adalah wajib, maka apa yang harus ia lakukan?
Para ulama sepakat bahwa masa yang telah ditetapkan untuk mengqadha’ puasa yang terlewat adalah setelah habisnya bulan Ramadhan sampai bertemu lagi di Ramadhan tahun depan. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 185)
Hutang Puasa Yang Lama Belum Dibayar
Lantas bagaimana aturannya bila seseorang punya hutang puasa, namun tidak dibayar-bayar sampai lewat Ramadhan berikutnya? Bahkan boleh jadi sudah berkali-kali Ramadhan terlewat sedangkan hutang puasa belum dibayar juga.
Dalam hal ini seluruh ulama sepakat bahwa hutang puasa itu tidak gugur, walaupun sudah lama terlewat dan belum dibayar dengan qadha’. Tidak ada istilah hangus atau pemutihan dalam masalah ini. Bahkan hutang puasa ini tidak bisa dikonversi menjadi bentuk lain seperti sedekah atau memberi makan fakir miskin, selagi masih sehat dan mampu berpuasa.
Niatkan puasa di hari Senin Kamis, atau puasa Daud, sebagai puasa pengganti untuk membayar hutang puasa yang sudah lama tertinggal hingga bertahun-tahun lamanya.
Maka bila masih sehat dan ada usia, segeralah bayarkan hutang qadha’ puasa itu secepatnya. Dalam hal ini harus berlomba dengan malaikat Izrail, agar jangan sampai dia datang duluan, sementara hutang puasa masih banyak. Mumpung masih ada kesempatan menikmati alam dunia, maka bayarkan hutang puasa itu. Semoga bisa menutup dosa-dosa dan kesalahan, dan semoga Allah mengampuni.
Apakah Cukup Puasa Qadha’ Saja Atau Ada Denda?
Kalau hutang puasa biasa, memang yang harus dibayarkan cukup qadha’ puasa sejumlah hari yang ditinggalkan. Para ulama umumnya sepakat akan hal itu.
Namun mereka agak berbeda pendapat kalau kasusnya hutang puasa tidak dibayarkan, hingga lewat setahun sampai bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun kemudian. Apalagi bila bukan cuma setahun tetapi bertahun-tahun lamanya hutang puasa itu masih belum dibayarkan.
1. Jumhur Ulama : Denda Fidyah
Sebagian fuqaha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha‘ setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda).
Perlu diperhatikan, meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin.
Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).
2. Mazhab Hanafiyah : Tidak Ada Denda
Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Madzhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha‘i.
Menurut mereka tidak boleh kita mengqiyas ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha‘ saja. Yang penting jumlah hari puasa qadha’nya sesuai dengan jumlah hutang puasanya.
Bagaimana Kalau Lupa Jumlah Hutangnya?
Nah, kalau masalah yang satu ini memang agak sulit juga menjawabnya. Sebab hutang kita kepada Allah SWT itu seharusnya kita catat baik-baik. Maka cara yang paling masuk akal adalah dengan cara melakukan appraisal atau perkiraan.
Cara ini biasa dilakukan oleh lembaga profesional untuk menaksir kira-kira nilai suatu asset. Biasanya perbankan menggunakan jasa ini untuk menaksir nilai suatu asset yang dijadikan jaminan. Kalau dalam bahasa fiqihnya, kita bisa pakai istilah ijtihad. Maksudnya, orang yang berhutang ini dipersilahkan berijtihad untuk menghitung-hitung sendiri sesuai dengan perkiraannya.
Namanya cuma perkiraan, tentu tidak 100% akurat. Tetapi setidaknya ada dasar-dasar pijakan yang bisa dijadikan patokan dalam mengira-ngira jumlah hutang puasa. Katakanlah misalnya dalam sekali Ramadhan ada kurang lebih 50% hari yang ditinggalkan tidak berpuasa. Maka kalau selama berturut-turut 5 tahun hal itu terjadi, kita bisa hitungan dengan mengalikan 15 hari selama 5 tahun. Hasil totalnya adalah 75 hari.
Buatlah list di atas catatan, isinya kolom nomor, hari ke berapa, dan tanggal pelaksanaan. Kemudian mulai lakukan qadha’ puasa itu sehari demi sehari secara santai. Yang penting setiap kali selesai satu hari puasa, contrenglah catatan itu serta beri tanggal pelaksanaannya. Semua itu agar kita punya catatan pasti dan tahu progres jadwal pembayaran hutang kita kepada Allah SWT.
Dalam pelaksanaan teknisnya, boleh saja puasa qadha’ itu dijatuhkan pada hari-hari khusus yang nilai pahalanya bisa dapat plus, seperti hari Senin atau Kamis. Atau boleh juga dijatuhkan pada tiap tanggal 13, 14 dan 15 tiap bulan qamariyah, sebagaimana halnya puasa ayyamul bidh. Dan kalau mau puasa berselang-seling seperti puasa Nabi Daud alaihissalam juga boleh, malah akan lebih bagus lagi.
Tetapi semua teknis di atas bukanlah aturan baku dalam mengqadha’ puasa. Tidak mampu seperti itu juga tidak mengapa. Yang penting dan paling utama adalah bagaimana agar jumlah hutang puasa bisa tertutup hingga selesai. Dan kalau mau memperbanyak nilai pahala puasa, silahkan rajin-rajin mengerjakan ibadah puasa sunnah. Apalagi kalau bisa lebih banyak bersedekah, tentu pahalanya akan kita nikmati sendiri di akhirat.
Pesan saya, sebaiknya semua bisa selesai selagi kita masih segar bugar, sehat wal afiat dan tentu saja sebelum ajal datang menjemput. Sebab kalau terlanjur nikmat sehat ini dicabut satu per satu, apalagi kalau sudah dipanggil Allah, sementara masih ada sisa hutang yang belum terbayarkan, kita akan kerepotan sendiri nanti di hari perhitungan kelak.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,